Oleh: Suhadi (Guru Sosiologi SMA Negeri 1 Pamotan)
Disampaikan Dalam Seminar Nasional Guru Sosiologi Se – Indonesia
di Unnes Pada Tanggal 19 September 2015
Sari
Tulisan ini bertujuan untuk menggugah para
Guru Sosiologi SMA tentang metode pembelajaran apa yang perlu digunakan dalam
materi penelitian sosial sederhana. Tulisan ini juga mengajak kepada semua
guru, dimana mengajar itu bukan hanya untuk mendongkrak keterampilan saintis murid.
Melalui tulisan berlatar best practice ini, penulis selalu
berharap pengajaran sosiologi mampu menghasilkan produk-produk ilmiah sosial yang
mampu menggairahkan proses pembangunan bangsa. Puncak dari pengajaran sosiologi
adalah merajut asa tentang bagaimana para guru berhasil menanamkan ahlak mulia,
berfikir kritis, serta berkontribusi dalam mendorong terwujudnya bangsa
Indonesia yang adil dan sejahtera.
Kata kunci: empati sosial, research based learning, merajut asa
PENDAHULUAN
“Belajar
teori tanpa empati,
ibarat
dokter spesialis kesuburan yang gagal memiliki keturunan”
###
Suatu ketika, seorang guru dengan percaya diri
mengajar didepan kelas. Usai wisuda dua tahun yang lalu, Ia merasa orang yang
paling hebat di depan para muridnya. Berlatar papan tulisan mengkilab, dan seiring
dengan kibar bendera merah putih dipojok kelas, Ia memulai pelajarannya. Dengan
sistematis Ia sampaikan materinya. Dimulai dari pertanyaan apakah, kenapa,
mengapa, dan bagaimana, serasa kelas itu dihujani pertanyaan, seakan para muridnya
tiarap tanpa perlawanan. Sesekali melirik buku kecil yang berisikan contekan
materi pelajaran, Ia paparkan sebuah teori fungsionslisme struktural. Para
muridpun berdecak kagum melihatnya, sembari mendengarkan penjelasan gurunya
dengan khusyuk, melebihi khusuknya ibadah yang diwajibkan agamanya. Beberapa murid
di bangku belakang berbisik lirih dengan teman sejawatnya.
Awakmu
paham opo ora?
Ora. Sing penting awak’e dewe sendeku. Ben
gurune seneng.
(Kamu
paham nggak?)
(Tidak. Yang penting kita mendengarkan dengan
serius. Biar gurunya senang)
Usai beberapa pertemuan, sang guru langsung
tancap gas dengan menggelar ulangan harian. Saat itu kompetensi dasar yang
diujikan adalah mengidentifikasi elemen-elemen dalam struktur sosial. Lima soal
uraian digelontor dalam lembar soal ulangan itu. Sebutkan tiga contoh norma sosial yang ada dilingkunganmu!
Sebutkan tiga contoh nilai sosial yang
ada disekitarmu! Deskripsikan stratifikasi sosial yang ada keluargamu yaitu
siapa menjadi apa (status sosial) dan
apa tindakannya (peranan sosial)! Siapa saja aktor sosial yang berpengaruh terhadap kemajuan atau kemunduran di desamu! Jelaskan
apa saja perubahan sosial yang
terjadi dalam lima tahun terakhir!
Serasa hari itu adalah hari bencana nasional bagi
kelas sebelas jurusan IPS. Mereka benar-benar tidak mengerti mau dikemanakan
pena dan lembar jawab ulangan itu. Terlebih gurunya yang super disiplin dengan
menekankan bahwa pada saat ulangan, kursinya tidak boleh bergeser se-incipun.
Karena sang guru yakin, karakter disiplin adalah penting bagi murid-murid
dimasa yang akan datang.
Malam harinya, usai makan malam bersama anak
dan istri, lembar jawab ulangan Ia dikoreksi.
Sungguh tidak terbayangkan pada benak dan pikirannya. Semua jawaban muridnya
melampaui ramalannya. Teknik mengajar yang diyakini tanpa cacat, ternyata hanya
sebatas mengantarkan nilai merah murid-muridnya. Apalagi lulus KKM, mendekati nilai
KKM saja jarang. Ia pun bertanya pada dirinya, bertanya pada pikirannya, dan
mempertanyakan seni pengajarannya. Apa yang salah dalam mengajarnya.
Namun sayang, seakan renungan malam itu tanpa
guna. Keesokan harinya sang guru memarahi semua muridnya. Ia menuduh muridnya
tidak memperhatikan pengajarannya. Ia tetap bersikukuh bahwa materi dan metode
mengajarnya adalah yang paling sempurna. Melihat kegagalan para muridnya,
secara marathon Ia menggelar program pengayaan dengan sedikit ulasan materi
yang diajarkannya. Namun lagi-lagi para muridnya tidak mampu mengerjakan soal
ulangan sebagaimana harapan mulia yang diinginkannya. Sang guru tetap
menghegemoni para muridnya dengan metode pengajarannya. Sang murid juga tidak
tinggal diam. Ia melawannya dengan mengerjakan soal ulang dengan cara abal-abal
dengan paksa. Suasana kelas semakin tidak karuan. Serasa kelas menjadi ajang permusuhan.
Guru dan murid saling melawan. Mereka semakin tidak sadar bahwa proses
pembelajarannya semakin jauh dari kemuliaan.
###
Pengalaman mengajar di atas bukanlah gagal
tanpa perencanaan. Beberapa kasus metode mengajar yang terjadi malahan
bersinggungan dengan guru yang dipandang ideal. Dari kasus di atas kita harus
mengakui bahwa guru yang cerdas belum tentu mampu mencerdaskan. Lantas
bagaimana model pengajaran yang mampu mencerdaskan? Menurut hemat penulis,
mengajar yang mencerdaskan adalah mengajari para murid tentang bagaimana seni mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dalam ulasan singkat ini, penulis bentangkan pengalaman
mengajar. Ulasan singkat ini menitik-beratkan tentang seni mengajar dengan
pendekatan pembelajaran berbasis penelitian. Dengan demikian materi penelitian
sosial sederhana tidak hanya berposisi sebagai objek kajian, namun materi
penelitian sosial dijadikan sentrum dalam proses pengajaran. Model pembelajaran
ini penulis lakukan sejak tahun 2013 hingga sekarang. Penulis yakin, metode
pembelajaran berbasis penelitian merupakan metode pengajaran yang terbarukan.
Walaupun demikian, metode ini tetap memiliki kelemahan disisi kelebihan.
PEMBAHASAN
Mulailah
dengan empati
“empati
terhadap masalah sosial,
adalah
pintu awal dalam memulai pembelajaran”
Tidak sedikit bukti-bukti lapangan yang
mendorong kita perlu ber-empati terhadap masalah sosial saat mengajar. Kita
para guru Sosiologi dapat melirik terhadap masalah kepedudukn, dimana populasi
penduduk Indonesia yang mengalami expansive
population (BPS, 2010). Ledakan penduduk tersebut setidaknya memiliki dua
ekses, yaitu sebagai potensi sumber daya manusia yang berdaya saing luar biasa
jika kita mampu menyiapkannya dengan baik, atau sebaliknya akan menjadi beban
Negara jika kita gagal mendidiknya. Kita juga bisa mengingat bahwa program
pembangunan yang dilancarkan pemerintah ternyata tidak mampu memberdayakan
orang miskin (BPS, 2013) untuk hidup sejahtera. Sehingga wajar jika ekses dari hal
tersebut mendorong terjadi penurunan nilai tukar rupiah yang semakin puruk dengan
ditambah perilaku menantang kebencaan. Kabut asap dimana-mana, alih fungsi
lahan pertanian dan resapan menjadi pilihan utama, hinga korupsi, berbohong,
dan kesaksian semakin menggelora. Entah kapan masalah-masalah sosial tersebut
berakhir yang tidak jelas dimana ujung dan pangkalnya.
Apalagi jika kita menilik kompetensi para
pekerja lulusan SMA yang terbukti masih rendahan (Kompas, 2013; Manning dan
Haryo, 2013; Suhadi, 2015), penduduk miskin semakin yang terpusat di daerah
pinggiran (BPS, 2010), sekolah-sekolah di kawasan pinggiran masih tertinggal dari
kemajuan (Buchori, 2007), sekolah gagal dalam menyadarkan muridnya (Hanum dan
Setya, 2006), serta masyarakat yang masih rajin melakukan tindakan menantang
bencana (Salbilah, 2008). Selaku guru, kita harus mampu hadir dengan menjauhkan
murid dari ketidakberdayaan dalam mencukupi kebutuhan (Purba, 2012). Berdasar
realitas sosial di atas, berempati terhadap masalah sosial merupakan kata kunci
dalam memulai pengajaran. Lantas bagaimana cara memasukkan empati sosial dalam
materi pembelajaran?
Berdasarkan pengalaman penulis, semua materi
sosiologi dapat kita mulai dengan empati terhadap masalah sosial. Misal materi
sosiologi kelas sepuluh yaitu “Sebab Terjadinya Perilaku Menyimpang”. Dalam
materi tersebut diyakini bahwa sebab terjadinya perilaku menyimpang adalah
hasil sosialisasi tidak sempurna, hasil sosialiasi budaya menyimpang, dan
karena meniru perilaku salah. Paparan materi di atas, secara jelas memposisikan
anggota masyarakat adalah mulia. Adapun biangkerok perilaku menyimpang adalah
proses sosialisasi yang semakin buruk rupa. Berangkat dari paparan materi
tersebut, kita dapat mengajak murid untuk ber-empati kepada anggota masyarakat
yang menyimpang, dimana perilaku menyimpangnya bukanlah salah mereka. Kita
dapat mengajak murid untuk berempati untuk menyayangi mereka dengan cara
memberi kasih dengan tidak mempertontonkan perilaku menyimpang pada saat dimanapun,
kapanpun, dan kepada siapapun.
Mengawali proses pembelajaran dengan empati
juga dapat kita lakukan pada murid kelas sebelas yaitu pada materi “Elemen-elemen
yang Mempengaruhi Struktur Sosial”. Dalam materi tersebut diyakini bahwa
kekayaan, kekuasaan dan wewenang, kehormatan, serta ilmu pengetahuan menjadi
elemen penting terhadap orang menduduki posisi apa dan apa peranannya. Melalui
materi tersebut, kita dapat memulai pelajaran dengan berempati terhadap
kehormatan orang miskin yang direnggut oleh kehidupan sosial yang tidak setara.
Dengan berempati pada masalah-masalah sosial di
saat pembelajaran, sebenarnya kita selaku guru
telah memandang bahwa kelas adalah industri ahlak mulia. Bukan hanya murid
yang akan menempakan dirinya berahlak mulia, gurupun semakin mulia ahlaknya. Murid
dan guru semakin tertantang dengan materi pelajarannya. Karena mereka seakan
menjadi pahlawan yang harus menunaikan tugas kemanusiaan di bumi tercinta.
Gunakan
pembelajaran berbasis riset
“Pembelajaran
berbasisis penelitian
merupakan
kaidah-kaidah terbarukan dalam metode pembelajaran
yang
mampu melipatgandakan keterampilan saintis murid”
Berempati terhadap masalah sosial dalam
memulai pembelajaran tidaklah cukup. Rasa iba dan sadar para murid dalam
melakukan tindakan agar terjadi perubahan yang diidam-idamkan, jangan tersia-siakan.
Buatlah para murid semakin berdaya bahwa empati terhadap masalah sosial mereka
perlu ditransfomasikan dalam tindakan-tindakan sosial keseharian. Inilah
saat-saat dimana guru sosiologi harus pintar menggunakan pendekatan
pembelajaran.
Menjadikan murid semakin berdaya, menurut Permendiknas
Nomor 65 tahun 2013 adalah siswa harus memiliki, mengembangkan, dan
mengimplementasikan keterampilan saintisnya. Dalam kaidah tersebut secara
gamblang menegaskan kegiatan mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan
mencipta merupakan proses pembelajaran yang menekankan pemberdayaan keterampilan
saintis. Selain itu, keberdayaan para murid dapat dipicu dengan membangun jiwa
ilmuan mereka (Wardoyo, 2013) dan sembari membangun cara berfikirnya (Sarwiji,
2013). Membangun jiwa ilmuan dapat dilakukan dengan mengembangkan sikap rasa ingin
tahu, mampu menyelesaikan masalah, dan sikap berfikir sistematis. Adapun
membangun cara berfikir dapat dilakukan dengan membangun nalar tanya, instrumentatif,
metodologis, intelektualis, dan agen perubahan sosial. Lantas pendekatan
pembelajaran apa yang mampu meningkatkan keberdayaan siswa di atas?
Menurut Rustaman (2005), Christy (2011), dan
GIHE (2010) pendekatan Pembelajaran Berbasis Riset (PBR) merupakan salah satu
dari model pendekatan pembelajaran yang mampu meningkatkan keberdayaan saintis siswa.
Rustaman menegaskan PBR merupakan proses pembelajaran dengan memecahkan masalah,
merencanakan dan melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data, dan
menarik simpulan. Senada Rustaman, Christy berpandangan bahwa PBR merupakan
sistem pengajaran otentik problem solving
dengan sudut pandang formulasi permasalahan, penyelesaian masalah, dan mengkomunikasikan
manfaat hasil penelitian. Selanjutnya menurut GIHE, PBR merupakan pengajaran
yang kaya akan sumber belajar, temuannya mutakhir, kontemporer, metodologis,
peserta didiknya aktif, enkulturasi riset, dan berlimpah value.
Berdasarkan pengalaman penulis, model PBR ini
memang terbukti mampu meningkatkan keterampilan saintis para siswa. Pada tahun
2013 penulis menggunakan model pembelajaran ini pada kelas sebelas materi
struktur sosial. PBR penulis terapkan pada kelas sebelas dengan mengajak murid
terjun ke pasar tradisional. Dengan PBR, para murid memiliki keterampilan
mengamati, menanya, mencoba, menalar, menyaji, dan mencipta. Keterampilan murid
mengamati ditunjukkan dengan mendapatkan data tentang suasana, perilaku, sikap,
dan apa yang dimiliki pada kelompok sosial pasar tradisional. Keterampilan murid
menanya ditunjukkan dengan mendapatkan data tentang pengetahuan, keyakinan,
kendala, dan harapan kelompok sosial Pasar Tradisional. Keterampilan mencoba
ditunjukkan dengan berani mencoba terjun di pasar tradisonal dengan berani
mengambil resiko. Keterampilan menalar ditunjukkan dengan mampu
mengidentifikasi dan mengklasifikasikan posisi kelompok sosial Pasar
Tradisional. Keterampilan menyaji dibuktikan dengan murid mampu
mengkomunikasikan, menanggapi, mempertajam hasil penelitian. Serta keterampilan
mencipta ditunjukkan murid dengan menghasilkan produk hasil penelitian struktur
sosial pasar tradisional.
Pada saat itu penulis masih canggung dan belum
yakin betul dari kehandalan PBR. Penulis menguji lagi keterampilan para murid dengan
mengajak mereka terjun ke Pasar Hewan. Ternyata hasilnya sama dimana terdapat
keterampilan saintis yang didapat murid ketika menggunakan PBR dalam
pembelajaran. Penulis tidak hanya berhenti di situ, kemampuan para murid juga
diuji dengan mendatangkan nara sumber Kepala Pasar Tradisional dan Kepala Pasar
Hewan pada saat seminar produk di kelas. Dari pandangan narasumber tersebut,
memang para murid telah memiliki keterampilan saintis. Bahkan tidak hanya itu,
para murid semakin memiliki potensi membangun sekolah sain karena para murid
semakin senang dalam mengikuti pembelajaran, memahami masalah di lapangan,
memiliki wawasan luas, mendapatkan pengalaman baru, memahami materi secara
mendalam, ingin melakukan kembali dan ingin meneliti kembali. Hasil dari proses
pembelajaran ini juga telah penulis komunikasikan dalam forum Lomba Inovasi
Pembelajaran SMA Tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 dengan diapresiasi mendapatkan
nilai tertinggi. Pada saat itulah penulis semakin yakin bahwa PBR mampu mendongkrak
keterampilan saintis para siswa.
Teknik mengembangkan tema dan
instrumen pembelajaran
“Ringankan
beban para muridmu
dengan
membantu memahami dari mana sebuah materi itu tercipta”
Lantas bagaimana cara mengawali pemebelajaran
sosiologi dengan pendekatan pembelajaran berbasis riset? Hal penting yang perlu
dimiliki seorang guru sosiologi adalah kemampuan mengembangkan materi ke dalam
tematik penelitian beserta intrumen penelitiannya. Langkah ini menjadi penting
karena hal ini merupakan kreativitas guru dalam membaca peluang apa tema
penelitian yang cocok pada sebuah materi. Untuk membangun kepekaan seorang guru
menjadi seorang peneliti, dan mendorong para muridnya untuk memiliki kepekaan
menjadi peneliti pemula, berikut ini adalah langkah-langkahnya.
Pertama, lakukan pemilahan pada kompetensi
dasar. Pengalaman penulis, kita dapat dengan mudah memiliki kepekaan memilah
mana kompetensi dasar yang dapat didalami dengan penelitian, biasanya
kompetensi dasarnya diawali dengan kata “mengidentifikasi”. Beberapa kompetensi
dasar yang memiliki muatan tersebut diantaranya; mengidentifikasi elemen-elemen
struktur sosial, mengidentifikasi diferensiasi gender, mengidentifikasi
perilaku masyarakat majemuk, dan menjelaskan dampak negatif perubahan sosial. Ingat,
teknik ini tidak menjadi yang utama.
Kedua, lakukan penelusuran pemetaan materinya.
Kita akan terbantu ketika kompetensi dasar yang kita pilih adalah kompetensi
mengidentifikasi. Misal pada materi mengidentifikasi perilaku masyarakat
majemuk, didalamnya memuat materi perilaku toleran, inklusif, akomodatif, demokratis, dan anti-diskriminatif.
Penelusuran materi ini akan mempermudah kita dalam menentukan tema penelitian
yang akan diteliti para siswa.
Langkah ketiga, menentukan tema penelitian
yang relevan dengan kompetensi dasar dan muatan materinya. Misal dalam
kompetensi dasar yang kita pilih adalah mengidentifikasi perilaku masyarakat majemuk, maka tematik yang dapat
pilih yaitu dengan memunculkan pertanyaan “Apakah perilaku orang tua dalam
rumah tangga mencerminkan perilaku masyarakat majemuk?” Untuk menjawab
pertanyaan itu, maka gunakan materi perilaku masyarakat majemuk yang sudah ada.
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian menjadi pedoman wawancara dan
pengamatan dalam penelitian para siswa.
Keempat, yaitu
menyusun pedoman wawancara dan pengamatannya. Masih dalam tematik perilaku
masyarakat majemuk, beberapa pertanyaan dapat diajukan misalnya sebagai
berikut. Bagaimana perilaku orang tua
ketika anaknya berbuat salah? Bagaimana dan perilaku orang tua ketika anaknya berkumpul dengan
kelompok yang berbeda suku, ras, dan agama? Bagaimana perilaku orang tua ketika
anaknya bertengkar/ berkelahi? Bagaimana perilaku orang tua dalam menentukan
dimana anaknya sekolah? Bagaimana peran orang tua dalam pernikahan anaknya?
Bagaimana perilaku orang tua dalam membagi kasih sayang kepada anak-anaknya?
Dan bagaimana perilaku orang tua dalam membagi warisan kepada anak-anaknya?
Instrumen di atas
akan membantu para murid untuk lebih ringan dalam mamahami materi mengidentifikasi
perilaku masyarakat majemuk. Ajak para murid untuk mengidentifikasi apakah para
orang tua memiliki perilaku masyarakat majemuk dengan cara meneliti orang
tuanya. Usai mendapatkan data, ajaklah para murid untuk mengkrosceknya dengan
materi yang ada. Dengan demikian anak dengan mudah dapat mengusai materi toleran, inklusif, akomodatif, demokratis, dan
anti-diskriminatif. Dengan teknik ini juga, guru dengan mudah mengajarkan
materi yang sebelumnya dianggap sulit serta menantang jiwa dan raga. Untuk
memudahkan kita dalam mengimplementasikan pendekatan PBR, beberapa contoh
ringkas tentang teknik mengembangkan tema dan instrumen penelitian dapat
dilihat pada lampiran.
Memanen
kemuliaan
Pembelajaran
yang baik
adalah
pembelajaran yang memuliakan para murid dan gurunya
Pada dasarnya seorang guru memiliki kebebasan
dalam memilih metode pembelajaran apa saja yang diyakini mampu dilakukannya.
Namun dari kebebasan pilihan itu, guru harus mempertanggung jawabkannya dengan
pembelajaran yang mampu memuliakan dirinya dan murid-muridnya. Kemuliaan para pembelajar inilah yang akan
menjadi poros dan kutub keberhasilan dalam mengajarnya.
Kembali pada pilihan penulis terhadap metode
Pembelajaran Berbasis Riset, penulis telah membuktikan bahwa PBR merupakan
salah satu metode pembelajaran yang mampu menghasilkan produk-produk ilmiah sosial.
Jika dalam metode pembelajaran
klasikal hanya menekankan pada penguasaan informasi cetakan, namun berbeda
halnya dengan PBR, ternyata telah mampu mencetak informasi-informasi yang
melampaui batas cetakan.
Beberapa product
based learning yang terhasilkan saat menggunakan metode PBR yaitu murid
mampu menghasilkan karya portfolio siswa, buku yang berisikan kumpulan kajian lapangan,
website murid, etnofotografi, hingga film dokumenter. Portfolio siswa merupakan
deskripsi lapangan terhadap apa yang dikaji para siswa. Bentuk deskripsi
lapangan dapat dalam wujud beragam, mulai dengan bentuk laporan ilmiah sosial
yang ketat, cerpen, puisi, hingga lirik lagu. Bentuk deskripsi lapangan sebisa
mungkin sekreatif mungkin. Jangan haling-halangi kreatifitas anak dalam
melaporkan produk pembelajarannya. Selanjutnya, produk lapangan siswa dapat
dibagikan melalui wesite pribadi siswa.
Selanjutnya, kumpulan produk lapangan siswa
anda dapat didokumentasikan dalam bentuk buku. Buku yang dimaksud adalah buku
kumpulan kajian lapangan siswa. Buku ini dapat Anda pajang di perpustakaan,
atau jika memungkinkan, tawarkan pada percetakaan, siapa tahu terdapat
percetakan yang tertarik mencetaknya. Untuk hasil produk lapangan yang menarik,
apresiasi mereka dengan menampilkan tulisan mereka di website sekolah atau di
website mata pelajaran sosiologi, jika ada. Melalui media buku dan website
karya mereka, para siswa semakin yakin dan percaya diri dengan karya-karyanya.
Sebisa mungkin bentuk dari produk lapangan
siswa diperluas dengan tidak hanya pada laporan deskripsi saja. Bentuk
etnofotografi hingga film documenter dapat ditawarkan kepada siswa sejak awal
pengerjaan produk, agar mereka semakin mendalam saat melakukan kajian lapangan.
Data-data lapangan yang dalam bentuk foto, dapat dibuat produk etnofotografi,
sebuah produk foto yang berisikan pesan potret kehidupan sosial masyarakat yang
diteliti. Begitu halnya data-data lapanan yang dalam bentuk video, dapat dibuat
produk film dokumenter, yaitu sebuah produk video yang berisikan tentang
realitas sosial dari kehidupan masyarakat yang diteliti. Bagi penulis, proses pembelajaran tersebut telah
mengalami lompatan prestasi. Murid terbukti berdaulat terhadap dirinya dengan
menghasilkan ragam produk ilmiah sosial yang tidak sedikit jumlahnya.
Bahkan tidak berhenti disitu, menurut
pengalaman penulis, gurupun juga berdaulat atas keilmuannya. Sembari menjadi
pengajar, guru dapat menghasilkan laporan penelitian tindakan kelas, etnofotografi,
film dokumenter, hingga mampu mempublikasikan karya ilmiahnya dalam jurnal
penelitian terkemuka. Suatu harapan besar, dimana proses pembelajaran yang
telah mampu memanen kemuliaan, dikemudian hari dapat digunakan untuk mendukung
program-program pembangunan sosial. Penulis
yakin, dengan metode belajar penelitian sosial, peran guru sosiologi semakin
strategis dalam pembangunan (Suhadi, 2015) melalui produk-produk ilmiah sosial yang
dihasilkan.
Menyongsong
metode pembelajaran terbarukan
“Metode
pembelajaran yang baik
adalah
metode pembelajaran yang menyiapkan anak didiknya
untuk
menjawab masalah sosial dimasa yang akan datang”
Disisi kelebihan metode pembelajaran berbasis
riset, tentu saja model pembelajaran ini terdapat kelemahan. Proses
pembelajaran PBR tidak hanya sulit dilakukan, namun juga memicu tantangan
struktural. Dari pengalaman penulis, merancang pembelajaran PBR memakan waktu
yang cukup lama. Guru harus menyiapkan diri dalam menguasai materi. Karena
tanpa penguasaan materi yang matang, guru akan sulit memunculkan empati sosial
para pembelajar dan tema-tema penelitian yang relevan dengan materi belajar. Selain itu, guru harus berhadap-hadapan
dengan budaya akademik di SMA yang belum populer terhadap sekolah sain yang
menekankan pembelajaran berbasis penelitian. Terlebih guru harus menanggung
beban anggaran untuk akomodasi murid saat terjun di lapangan, karena RAPBS SMA
masih belum populer dengan anggaran pembelajaran lapangan.
Walaupun demikian, para guru seyogyanya tidak
usah ragu dan bimbang. Sudah saatnya mata pelajaran sosiologi memiliki
laboratorium penelitian sosial yang dapat dikunjungi para guru dan muridnya. Laboratorium
penelitian sosial yang dimaksud adalah sebuah ruangan yang didalamnya memuat
miniatur penelitian sosial yang dilengkapi dengan perkakas multimedia. Penulis
membayangkan, dimana setiap ada yang masuk dalam ruangan itu, saat keluar
mereka ingin segera melakukan penelitian sosial.
Desain ringkas dari laboratorium penelitian
sosial untuk para guru dan murid SMA ini, setidaknya memuat lima elemen
penting. Elemen-elemen penting dalam laboratoriun itu diantaranya; gerbang
masalah sosial, penjurusan masalah sosial, rumah kajian literatur dan
penelitian relevan, bilik metode lapangan, replika proses penelitian lapangan,
dapur pengolahan dan citarasa, dan ruang gallery produk ilmiah sosial. Secara
konseptual, wacana laboratorium penelitian sosial sederhana dapat dilihat pada di tulisan yang penulis bagi
pada Kompasiana (Suhadi, 2015) yang dapat diakses, dikritik, dan diberi masukan
untuk penyempurnaan.
Penulis berharap, dengan hadirnya laboratorium
penelitian sosial sederhana, dapat menjadi Pusat Wisata Ilmiah Sosial yang
tidak hanya diperuntukkan murid SMA. Para guru dan murid TK, SD, SMP juga dapat
berkunjung di tempat ini. Hanya saja perlu diperhatikan siapa yang membuatnya.
Perguruan Tinggi sudah saatnya memperhatikan apa saja kebutuhan yang diperlukan
oleh para lulusannya. Selain dari sisi tanggung jawab itu, perguruan tinggi
juga memiliki kompetensi sumber daya manusia yang kompeten dan profesional dalam
bidangnya.
Dengan hadirnya laboratorium penelitian sosial
ini, harapan penulis, guru sosiologi tidak lagi kesulitan dalam mempersiapkan
pembelajaran dengan sentuhan penelitian sosial. Guru sosiologi tidak lagi repot
menyiapkan model rancangan pembelajaran penelitian sosial, tidak lagi kesulitan
mendapatkan instrumen pembelajaran, dan tidak lagi kebingungan produk-produk
ilmiah sosial apa yang akan garap sebagai produk ilmiah sosial. Jika laboratorium
penelitian sosial tersedia, dan berjalannya program wisata penelitian sosial,
perguruan tinggi dan para alumninya akan saling bersinergi dalam menyongsong
lahirnya metode pembelajaran terbarukan. Sebuah metode pembelajaran yang tidak
hanya ramai dalam kelas, namun juga berdaya guna untuk pembangunan bangsa dan
negara tercinta.
PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas tentang model
pembelajaran sosiologi SMA materi penelitian sosial, dapat disimpulkan sebagai
berikut. Pertama, mulailah pembelajaran dengan berempati terhadap masalah
sosial. Kedua, gunakan pendekatan pembelajaran berbasis penelitian. Ketika,
lakukan pengembangkan tema dan
instrumen pembelajaran di lapangan. Ketiga, buatlah produk pembelajaran yang
kreatif. Dan jika perlu, segera bersama-sama (guru sosiologi SMA) menggagas
terbentuknya laboratorium penelitian sosial untuk SMA.
Melalui tulisan berlatar best practice di atas, tentu saja jurus-jurus pengajaran guru
sosiologi SMA tidak cukup berhenti pada siapa melakukan metode apa. Tapi yang
menjadi penting adalah siapa menggunakan metode pembelajaran apa, kemudian
menghasilkan metode pembelajaran terbarukan apa saja. Inilah yang sebenarnya
menjadi tugas mulia para guru sosiologi SMA. Selamat mencoba, dan semoga berdaya
guna.
DAFTAR
PUSTAKA
BPS. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 (Data agregat per
Provinsi). Badan Pusat Statistik: Jakarta
Buchori,
Mochtar. 2007. Memotong Belenggu
Kemiskinan: Strategi Pendidikan untuk Kelompok Anak Pinggiran. Bogot. ITB.
Makalah Seminar Pendidikan Untuk Anak-anak Pinggiran.
Chrysti S,
Kartika. 2011. Implementasi Pembelajaran
Berbasis Riset Kajian: Fermentasi Limbah Cucian Beras (Leri) Untuk Pembuatan
Nata Pada Mata Kuliah Konsep Dasar IPA Mahasiswa S1 PGSD FKIP UNS. Masters
Thesis, Universitas Sebelas Maret.
Hanum, Farida dan Setya Raharja. 2006. Pengembangan Model Pembelajaran
Multikultural di Sekolah Dasar di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Jakarta:
Dirjen PTDPN. Hasil Penelitian Nomor:
018/SP3/PP/DP2M/II/2006.
H.U. Kompas.
2013. Utang Negara Rp 2.036 T, Indonesia
Siap-siap Bangkrut. Dalam
http://nasional.kompas.com/read/2013/07/18/1338289/Fitra.Utang.Negara.Rp.2.036.T.Indonesia.Siap.siap.Bangkrut.
Diunduh pada tanggal 18 Juli 2013.
H.U. Kompas.
2011. Kekayaan RI Naik Menjadi Rp 15.912
Triliun. Dalam http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/10/19/13520561.
Diunduh pada tanggal 17 Juli 2013.
Manning,
Chris and Haryo Aswicahyono. 2013. Trade
and Employment in Services: The Case of Indonesia, International Labour Office
– Jakarta: ILO.
Peraturan
Menteri Pendidikan & Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 65 Tahun
2013 Tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Purba, Ina P.
2012. Strategi
Pendidikan Character Building Dalam Proses Pendidikan Masyarakat Pinggiran Oleh
Yayasan Peduli Karakter Bangsa (Studi Kasus: Sekolah Talitaku Kum Jl. Pabrik
Tenun Gg. Cikditiro No.16 Medan Sumatera Utara). USU. FISIP. Skripsi.
Rustaman,
Nuryani Y. 2005. Perkembangan Penelitian
Pembelajaran Berbasis Inkuiri dalam Pendidikan Sains. Makalah Seminar.
Universitas Pendidikan Indoneia. Bandung. FMIPA.
Salbiah. 2008. Hubungan
Karakteristik Siswa dan Sanitasi Lingkungan Dengan Infeksi Cacingan Siswa
Sekolah Dasar Di Kecamatan Medan Belawan. Sekolah Pascasarjana. Tesis. USU
Medan.
Sarwiji,
Bambang. 2013. Pendidikan dan Pembangunan
Manusia Indonesia. Jakarta: PT. Indeks.
Suhadi. 2015.
Model Pembelajaran Berbasis Riset Dalam
Rangka Meningkatkan Keterampilan Saintis Siswa SMA. Rembang: Perpustakaan
SMA N 1 Pamotan.
Wardoyo,
Sigit Mangun. 2013. Pembelajaran Berbasis
Riset. Jakarta: Akademia.